Rabu, 30 Juli 2014

Cerita Lebaran Perantau


Dari awal Ramadhan, foto di atas sudah tersebar dimana-mana. Ada yang memakainya sebagai display picture di bbm, whatsapp, ada yang posting di Path atau Instagram, bahkan ke facebook dan twitter.
Saya sendiri awalnya biasa saja menanggapi ini. Tapi ternyata setelah memasuki lebaran, baru merasakan dampak dari pertanyaan ini.

Ketika memutuskan untuk menghabiskan Lebaran di Jogja bukan hal yang mudah. Godaannya macam-macam. Mulai dari undangan buka puasa yang banyaknya minta ampun, ditambah dengan pertanyaan, "Melly di mana?" atau "Kapan pulang?" atau "Ngumpul yuk?" membuat perasaan juga jadi campur aduk. Apalagi ini, "Mel, teman kita ada yang nikahan nih abis lebaran. Ngumpul yuk?". Duh. Cuma bisa jawab pake senyum.

Dari obrolan-obrolan itu semua, ternyata persoalannya bukan hanya saya yang mengalaminya. Beberapa teman dekat juga merasakan tekanan bathin yang sama. Hahaha. Padahal, kalau dipikir-pikir belum terlalu terlambat. Tapi memang sudah waktunya menyediakan waktu untuk mempertimbangkannya.

Saya pikir, ketidakpulangan saya ke rumah akan membuat saya selamat dari pertanyaan "Kapan Kawin?" tersebut. Apalagi hari pertama lebaran, setelah maaf-maafan by phone sama sanak saudara, belum ada muncul pertanyaan itu. Bangganya bukan main. "Alhamdulillah, selamat !" ucap saya dalam hati.

Sebenarnya saat sebelum lebaran pun sudah ada yang menanyakan hal itu. Terutama ketika saya mengabarkan ke beberapa orang terdekat saya, juga orangtua-orangtua angkat saya tentang kelulusan saya masuk Pascasarjana UGM. Mereka sangat bahagia mendengar saya bercerita tentang rencana dan mimpi-mimpi saya. Juga sangat bersemangat menyemangati saya untuk tetap semangat. Tapi selalu, dalam cerita semangat itu mereka menitipkan pesan, "Ingat umur, ya?" atau tiba-tiba lagi asyiknya bercerita tentang rencana masa depan, salah satu Ibu saya komen, "Dari tadi Ibu dengar cuma cerita kuliah aja. Mau ke sana mau ke sini, trus nikahnya kapan mel?" atau Ibu saya yang lain berpesan ketika menutup telfon, "Ibu selalu mendoakan semoga cita-cita mel tercapai, Nak. Tapi jangan lupa membuka hati, ya?". Lagi-lagi itu semua membuat saya terjleb-jleb. Duh!

Bahkan Pembantu Ibu Kos juga ikut menanyakan hal yang sama. Cuma cara masuknya lebih ngena. "Mba Melly kok ga mudik? Sudah ada mertua di sini, ya?" Nah, saya harus jawab gimana coba? Duh.

Tadi malam, gara-gara si Uni mudik ke kampung halaman Papa, kemudian ada sepupu yang mau nikahan setelah lebaran Idul Adha ini, Uni langsung menelfon saya. Saya sudah tidur, tapi karena Uni yang telfon harus saya angkat. "Meng, Santi mau nikahan nih abis lebaran haji, Meng kapan?" tanya nya santai. Saya yang separuh sadar langsung terperanjat. Tidak punya banyak waktu untuk memikirkan jawaban yang tepat. Akhirnya pakai senjata terakhir, ketawa saja. Hehehe. Lalu mengalihkan pertanyaan dengan menanyakan kabar keluarga di kampung. Hahaha. Alhamdulillah, lagi-lagi selamat !

Saya bisa memaklumi setiap pertanyaan itu. Saya hanya bisa mengatakan, "Kita selesaikan satu-satu dulu ya Bu, Pak? Yang penting doakan semuanya lancar jaya." Alhamdulillah. Mereka semua bisa mengerti walaupun ada yang minta saya berjanji untuk tidak berlama-lama. Nah loh?!

***

Ketika Mentri Agama menetapkan Senin, 28 Juli 2014 sebagai 1 syawal atau Hari Raya Idul Fitri, barulah saya merasakan homesick yang luar biasa. Yang tadinya tegar dan kuat, gara-gara rindu jadi galau akut. Rindu ingin pulang bukan main hebatnya. Apalagi rindu makan lontong gulai toucho Uni. Dari dulu masakan khas hari lebaran di rumah itu lontong gulai toucho. Entah bagaimana sejarahnya, yang jelas dari dulu Mama selalu membuat makanan khas itu di setiap lebaran. Dan resepnya pun seperti sudah turun temurun. Hehe. Masakan Mama persis seperti masakan Uni. Jadi kalau rindu masakan Mama, tinggal makan masakan Uni. Sebenarnya yang paling jago masak itu Papa. Sampai kapan pun, rendang buatan Papa ga akan pernah tergantikan. Sayangnya saya belum sempat mempelajari bagaimana beliau memasaknya sampai sebegitu membuat candu. Tapi kalau mendengar cerita dari Mama bagaimana cara Papa memasaknya, saya pikir bisa saya pelajari. Buktinya Uni bisa, walaupun tidak sama, tapi lumayan lah bisa mengobati rindu masakan Papa juga.

Saat hari lebaran itu, sepulang melaksanakan sholat Ied, saya tepar. Langsung demam dan lemas. Malamnya saya memang tidak tidur. Flu menyerang dan kepala sakitnya bukan main. Untung bodrex selalu tersedia. (Duh. Jadi iklan). Rindu memang kadang menyebalkan. Tidak bisa menunggu dan tidak memiliki rasa toleransi. Haha. Tapi Alhamdulillah. Setelah istirahat yang cukup, akhirnya sudah fit lagi.

Sekarang sudah memasuki lebaran ketiga. Jogja masih sepi. Mudah-mudahan mereka segera kembali. Rindu juga sudah baikan kayaknya. Hehehe.

Selamat lebaran, ya?

mellysyandi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar