Rabu, 09 Juli 2014

Beginikah Rasanya Kasih Tak Sampai?!

Bicara kasih tak sampai memang tidak mudah. Ada yang menyebutnya belum sampai, atau belum yang terbaik. Padahal kenyataannya memang tidak sampai. Lalu mau apalagi? Selain menerima dan ikhlas, tentu tidak ada cara lain. Tidak mungkin memaksakan sesuatu yang tidak ada jalannya. Kalaupun ada, tentu tidak bisa sendiri. Harus bersama-sama. Maka dari itu pilihan terakhir adalah menerima kenyataan tentang kasih tak sampai itu.

Hari ini, saya patah hati lagi. Dari bulan lalu, sebenarnya saya sudah memperjuangkannya. Bukan pula berniat untuk mundur begitu saja. Saya mencoba untuk mengikuti aturan. Tapi mungkin belum berjodoh. Pemilu kali ini saya harus merasakan patah hati (lagi).

Akhir bulan lalu itu, saya dan Mas Rali mencoba mengurus form A5 ke KPUD Yogya. Untuk apalagi kalau bukan untuk bisa menyoblos di hari ini. Sebelumnya, saya memang tidak terdaftar di KPU sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT) di daerah asal saya. Mungkin karena Pak RT saya di tempat asal baru diganti. Bisa jadi karena saya yang jarang pulang dan jarang kelihatan, maka dianggap tidak Pemilih Tetap. Jadilah saya tidak terdaftar. Itu pikiran saya.

Sedangkan Mas Rali, sudah dapat undangan mencoblos di tempat asalnya di Jember. Sudah terdaftar juga dalam Daftar Pemilih Tetap di KPU. Tapi karena Jogja - Jember lumayan jauh, ditambah kegiatan beliau di Jogja yang cukup padat, akhirnya ia memilih untuk pindah DPT. Maka kami sama-sama membutuhkan A5 untuk bisa memilih di Jogja.

Akhir bulan lalu itu, tanggal 28 Juni 2014 saya dan Mas Rali datang ke kantor KPUD Yogya. Menanyakan bagaimana prosedurnya jika kasusnya begini dan begitu. Dan jawaban pun di dapat. Untuk permasalahan saya, saya akan dimasukkan ke dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK). Untuk bisa mendapatkan itu, saya harus meminta surat keterangan domisili yang di tanda tangani Ketua RT dan RW di tempat saya tinggal, kemudian melampirkan foto copy KTP serta mengisi formulir yang disediakan. Sedangkan Mas Rali, karena sudah masuk DPT maka hanya mengisi formulir yang disediakan panitia, kemudian melampirkan foto copy KTP.

Karena pernah merasakan sakitnya kasih tak sampai (*eh), maka saya bersemangat menemui Pak RT dan Pak RW pagi itu. Alhamdulillah, beliau-beliau sedang berada di rumah dan sedang santai. Sehingga urusan pun lancar jaya.

Sesampainya di KPU, saya mengisi formulir sesuai yang di instruksikan petugas. Lalu mengumpulkannya dan tunggu panggilan katanya.

1 jam menunggu, saya belum dipanggil. 2 jam, 3 jam dan akhirnya saya mulai menanyakan kepada petugas yang lain kemudian menceritakan permasalahan saya. Petugas itu menjawab, "Oh, berarti Mba masuk ke dalam DPK, toh? Sudah mengisi form kan? Kalau begitu, urusan Mba sudah selesai. Nanti tunggu saja undangannya Mba."

Alhamdulillah, tentu saya merasa lega sekali. Begitu juga dengan Mas Rali. "Kita tinggal nunggu panggilan, mas !". Ucap saya tenang.

Saya pikir, undangan akan dikirim paling lambat H-1 pencoblosan. Berarti paling lambat tanggal 8 Juli sekitar pukul 3 sore. Saya tunggu, berulang kali saya tanya ke Ibu Kos untuk memastikan apakah ada undangan pencoblosan untuk saya. Ternyata tidak ! Maka jadilah saya mulai tidak tenang.

Saya mencoba untuk bertukar pikiran dengan Mas Rali. Bagaimana kalau tidak ada undangan? Apakah kita masih bisa nyoblos? Sedangkan kita tidak punya A5. Mas Rali jawab bbm saya singkat, "Besok pagi kita ke rumah Pak RT. Kalo tidak ada, kita ke KPU lagi. Pokoknya kita usahakan supaya bisa nyoblos". Baiklah.

Pagi-pagi sekali di tanggal 9 juli saya sudah bersemangat. Walaupun saya tahu ada kemungkinan saya akan ditolak. Sehingga saya juga menyiapkan hati untuk tidak diterima. Kalau diterima, judul tulisan ini berubah menjadi "Akhirnya Ku Memilihmu". Tentu isi tulisannya juga bukan begini. Tapi karena kenyataannya tidak begitu, maka jadilah ia seperti ini.

Jam 9 pagi Mas Rali sudah datang menjemput saya. Kita sama-sama menuju rumah Pak RT. Ceritanya Mas Rali mau masuk ke Kelurahan tempat saya tinggal saja untuk bisa nyoblos. Soalnya sudah terlanjur mengurus di Jogja. Sedangkan domisili beliau di Bantul.

Sesampai di rumah Pak RT, si Bapak sudah keburu ke TPS. Maklum, giliran beliau yang jadi Ketua KPPS. Dan kami pun menyusul ke sana. Ternyata TPS masih sepi. Padahal sudah jam 9. Waktu pemilihan tinggal 4 jam lagi. Warga yang sudah terdaftar menyoblos di TPS itu lumayan banyak. Setelah tanya-tanya dan menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan tidak sampainya undangan, petugas TPS langsung menyuruh kami untuk memeriksa nama-nama yang masuk dalam daftar pemilih tetap yang ada di TPS tersebut. Kalau misalnya masuk daftar, bisa nyoblos dengan memperlihatkan KTP walau tidak punya undangan, atau bawa KTP pakai form A5 atau bisa menggunakan Surat Keterangan Tinggal Sementara (SKTS) dari Kelurahan. Nah, syarat yang terakhir itu baru tadi saya dengar. Sebelumnya tidak ada pemberitahuan seperti itu untuk warga yang akan mencoblos di daerah bukan daerah asalnya.
Lumayan lama kami mencari, tetap tidak menemukannya. Akhirnya kami memutuskan untuk ke KPU. Supaya lebih tahu kejelasan pencoblosan ini bagaimana.

Sampai di KPU, kami bertemu salah satu petugasnya. Kami menceritakan kembali permasalahan yang membuat kami tidak bisa mencoblos. Solusinya, kami disuruh ke KPU Kab. Sleman. Alasannya, tempat tinggal saya masuk Kabupaten Sleman, jadi tidak diurus oleh KPU Yogya. Tetapi data yang sudah masuk di KPU Yogya sudah dikirim ke KPU Kab. Sleman.

Modal tanya sana tanya sini, ternyata kantor KPU Kab. Sleman lumayan jauh. Tapi semangat untuk mencoblos masih banyak. Jadi tidak masalah, "yang penting bisa nyoblos". ujar Mas Rali.

Setelah menemukan KPU Kab. Sleman, saya dan Mas Rali pikir urusan akan selesai. Akan dapat jawaban yang bisa membuat kami untuk dapat memberikan suara pada pilpres kali ini. Tapi sayang sekali, ketika memasuki kantornya, masyarakat yang tidak bisa mencoblos sudah berkumpul di sana. Bahkan ada yang tidak terima. Dan pada umumnya kasusnya sama. Sama-sama tidak masuk DPT atau sama-sama tidak dapat undangan nyoblos karena tidak domisili Jogja.

Suasana di Kantor KPU Kab. Sleman, Yogyakarta



Bahkan ada yang mengancam akan memperkarakan ini sampai ke MK. Aduh.
Sambil menyimak persoalan mereka, saya mendapat pesan dari teman di Jogja. Katanya, "bisa nyoblos untuk yang ga punya A5. Silahkan download formnya dan minta tanda tangan ke Kelurahan".
Saya dan Mas Rali pun bergegas keluar dari Kantor KPU Sleman. Sedangkan yang lain masih kekeuh untuk memperjuangkan hak suaranya.

Setelah membuka link download, ternyata filenya sudah dihapus. Sudah tidak bisa di akses lagi. Nah, tanda-tanda kasih tak sampai mulai terasa. Waktu itu baru pukul 11 siang. Mas Rali mencoba meyakinkan, "kita ke TPS yang ada di dekat-dekat sini aja yuk. Siapa tau bisa." ucapnya penuh harap.

Waktu Pileg lalu, bagi warga yang bukan domisili Jogja bisa melakukan pencoblosan. Syaratnya tidak sesusah ini. Tinggal bawa KTP kemudian mendaftar. Walaupun itu baru bisa dilakukan pada injury time, tapi paling tidak kita diberi kemudahan. Walaupun tidak semua TPS memberikan kelonggaran seperti itu. Katanya, tergantung sisa surat suara di TPS tersebut. Nah, saya coba datangi TPS yang kira-kira memberikan kelonggaran seperti pada Pileg lalu. Ternyata masih sama. Tidak ada perubahan sedikit pun. Bahkan terang-terangan mengatakan, "kita beda Padukuhan Mba, jadi tidak bisa mencoblos disini." ucap petugasnya santai. Baiklah.

Perasaan kasih tak sampai mulai terasa lebih dalam lagi. Tapi keinginan menyerah belum ada. Mungkin karena masih punya sisa waktu 2 jam lagi. Masih punya kesempatan untuk berdoa dan berusaha. Akhirnya, kami kembali datang ke TPS Pak RT saya itu. Siapa tau kami dikasihani. Aduh.

Saat kami sedang mendiskusikan tentang jalannya pemilihan ini, tiba-tiba ada seorang Mahasiswa UGM mengatakan bahwa ia juga tidak bisa melakukan pencoblosan. Alasannya tidak jauh beda dengan saya dan Mas Rali. Tapi ia punya form A5  yang ia dapat dari link download di internet itu. Mungkin ia mengunduhnya sebelum file itu dihapus. Yang tadinya sudah hampir pupus, maka saya dan Mas Rali bersemangat lagi. "Ayuk.. Kita ke Kelurahan. Siapa tahu bisa." ajak Mas Rali.

Lagi-lagi Tuhan Memang Maha Penguji Terbaik. Saat menuju kelurahan, motor yang dikendarai Mas Rali bannya bocor. Untung tukang tambal ban tidak jauh dari tempat kejadian. Menunggu lagi setengah jam. Waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. "Gimana Mel? Masih kita lanjutkan?" tanya Mas Rali. "Lanjut Mas. Sampai kita tahu kalau kita memang tidak bisa." ucap saya yang sedang menyembunyikan sakit kasih tak sampai itu.

Ban sudah ditambal, kami langsung menuju kantor Kelurahan Catur Tunggal. Ternyata disana tidak kalah ramainya dengan yang di KPU Kab. Sleman. Semuanya punya permasalahan yang sama juga. Bahkan protes yang dilakukan oleh Mahasiswa dari Maluku sempat menimbulkan kehebohan. Sebenarnya memang tidak ada kewenangan kantor Kelurahan untuk mengizinkan bisa mencoblos. Tapi mau bagaimana lagi. Mereka yang di tolak di TPS di suruh lapor ke Kelurahan mereka. Alhasil, petugas Kelurahan yang menerima protes.







Suasana di Kantor Kelurahan Catur Tunggal, Yogyakarta

Seperti sebelumnya, saya hanya bisa menyimak. Kemudian berdiskusi dengan salah satu TNI yang jaga disana. Tetap saja, setelah berkoar-koar mengenai keinginan untuk mencoblos, Kelurahan tidak bisa memberikan jaminan. Akhirnya, mereka di arahkan menuju ke KPU Kab. Sleman.
Sudah pukul setengah 1 siang. Sisa waktu hanya setengah jam sebelum TPS di tutup. Lagi-lagi teman saya menginfokan, "TPS di sebelah Bank Bukopin (Jalan Kaliurang) sepi. Barangkali bisa nyoblos disana." tulisnya. Saya dan Mas Rali lebih memilih bergegas menuju kesana. Siapa tahu bisa !

Kami memang tidak memilih untuk ikut rombongan yang ingin protes ke KPU Kab. Sleman. Karena sudah kembali dari sana, jadi sudah tahu akan mendapat jawaban apa. Lebih baik kita coba pilihan terakhir. Menuju TPS samping Bank Bukopin. Siapa tahu bisa !

Sesampainya disana, barulah kasih tak sampai itu terjawab. Bukan sekedar lagi perasaan semata. Tetapi memang kenyataannya begitu. Kami tidak bisa melakukan pencoblosan. Alasannya sederhana, tidak memiliki A5, atau surat domisili.

Sebenarnya ini bisa saja diterima dengan lapang dada, kalau kami tidak mengurusnya dari jauh hari. Sedangkan untuk mengantisipasi perasaan sakit kasih tak sampai ini, kami sudah mengurusnya 10 hari sebelum pemilihan. Tapi Tuhan berkata lain. Barangkali memang tidak berjodoh pada pemilu kali ini.
Kata teman saya, "Yang penting niat mau mencoblosnya sudah kuat, apalagi usahanya udah maksimal gitu. Bisa atau tidak bisa mencoblos, pahalanya urusan Tuhan." tulisnya kepada saya.

Alhamdulillah. Ya, hanya Alhamdulillah.
Mungkin memang tidak jodoh. Walaupun belum sepenuhnya sadar, beginikah rasanya kasih tak sampai itu?
Ah, sudahlah !

Hasil Quick count sudah keluar. Masing-masing pasangan sudah mendeklarasikan diri kemenangannya. Hahaha. Saya tertawa ketika baca judul berita begini, "Media Jerman bingung menuliskan kemenangan Pemilu di Indonesia."

Aduh. Entahlah. Walau bagaimanapun kau tetap Indonesiaku !

Semoga 2019 nanti bisa lebih baik dan memberikan kontribusi nyata untuk kemajuan bangsa Indonesia ini.
Sampai jumpa lagi 5 tahun yang akan datang, InsyaAllah !
Matur Nuwun Pak SBY.


Jogja, 09.07.14
Salam hormat dari Warga Negara Indonesia yang sedang patah hati,
mellysyandi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar